Dimuat di : Reksanews.com
Oleh :Ricky Andriawan Mardjadinata
Hari masih gelap, baru pukul 5 pagi,
ketika mereka meninggalkan Bandung. Sebelum adzan Dzuhur, ketiganya
sudah tiba di Kawali, sekitar 120 kilometer timur Bandung. Mereka
sengaja datang untuk menyaksikan peristiwa budaya yang digelar dua
tahun sekali: Nyiar Lumar, acara yang digarap paguyuban
seniman-budayawan Kawali Paseban Jagat Palaka bekerja sama dengan
Teater Jagat dari SMAN 1 Kawali, 7 Juli 2012.
Bagi ketiga anak muda Bandung itu –
Iyan, Nana, dan Antony — ini kali pertama mereka menyaksikan kegiatan
yang dimotori sastrawan Godi Suwarna serta beberapa seniman Ciamis itu.
Meskipun, Nyiar Lumar sendiri pertama kali berlangsung pada 20 Mei
1998, ketika situasi negeri ini sedang tidak menentu. Godi dan
kawan-kawannya, antara lain Dadang Q-Most, Edi Rusyana Noer, dan Pandu
Radea, merasa galau dengan situasi saat itu. Dan, sebagai seniman, ia
lebih memilih cara berkesenian untuk menumpahkan rasa galaunya itu –
ketimbang ikut demo seperti mahasiswa dan aktivis lainnya.
Dan Iyan CS mendapatkan informasi Nyiar
Lumar itu dari jejaring sosial facebook. Maklum, beberapa pekan sebelum
hari H, acara tersebut sudah dibicarakan. Dan mereka sangat antusias
untuk ikut menyaksikannya. “Saya baca, Nyiar Lumar kali ini dihadiri
banyak tokoh seniman dan budayawan Sunda,” kata Iyan. “Terlebih akan
diadakan pembacaan Fiksimini Basa Sunda,” tambahnya, menyebut grup
Facebook Fiksimini Basa Sunda yang digagas penyair Nazarudin Azhar sejak
16 September 2011 lalu.
Dengan memakai ‘pangsi’ pakaian adat
Sunda tak lupa Iket kepala sebagai ciri khas Urang Sunda, mereka bertiga
berbaur dengan warga dan para tamu yang hadir pada acara tersebut.
Dimulai dari Pendopo Kawali, tempat acara pembukan Nyiar Lumar diisi
dengan pementasan ‘Karinding Nyéngsol’ dari Winduraja Kawali dan Pencak
Silat dari Mangunjaya Kabupaten Ciamis, ketiganya larut bersama
puluhan orang pengungjung lainnya yang beriringan menuju Situs Astana
Gede, tempat acara puncak dan utama dilakukan.
Ketika lepas shalat Isya, acara utama
Nyiar Lumar pun dimulai. Diawali di gerbang Astana Gede dengan
pementasan tari dan pentas teaterikal dari Teater Jagat SMAN 1 Kawali,
acara dilanjutkan dengan tawasulan – pembacaan tahlil dan
takbir sebagai salah satu tradisi Islam-Sunda. Kemudian dilanjutkan
dengan pembacaan fiksimini Basa Sunda oleh para penyair Sunda di sebuah
panggung kecil yang terbuka di dalam Situs Astana Gede. Hanya diterangi
cahaya oncor, pelita sederhana dari bambu.
Menjelang pertengahan malam, acara
berpindah ke sebuah panggung terbuka tak jauh dari mata air keramat
Cikawali, tempat mandi dan bersuci keluarga kerajaan Sunda Galuh dahulu.
Dan dimulailah pementasan Drama Palagan Bubat, yang mengisahkan
pertempuran tidak seimbang antara pasukan Kerajaan Sunda Galuh dengan
pasukan Majapahit. Inilah peristiwa yang menyebabkan gugurnya Raja dan
Putri kerajaan Sunda Galuh bersama rombongannya. Sedianya, rombongan Galuh itu hendak
mengikuti acara pernikahan Putri Citraresmi atau Dyah Pitaloka dengan
Hayam Wuruk. Namun entah kenapa, Patih Gajah Mada dari Majapahit ketika
itu malah menabuh genderang perang. Pertempuran tidak seimbang pun
terjadi. Rombongan kerajaan Galuh tumpas.
Setelah pemantasan drama Bubat,
sampailah pada acara puncak acara: Ronggéng Gunung Bi Raspi, salah satu
kesenian buhun yang hanya ada di Tatar Galuh Ciamis. Para tamu turun
menari bersama, melingkari api unggun yang telah disiapkan. Lantunan
musik dan syair-syair tembang buhun Bi Raspi pun disambut hangat warga
yang menyaksikan. Semua turun menari sampai waktu pagi menjelang.
"Saya sangat puas bisa menghadiri acara
Nyiar Lumar, selain melihat pagelaran seni budaya, saya juga bisa
berkunjung ke situs Astana Gede. Pokona mah juaraaaa lah!” tutur Iyan dengan gaya basa Sundanya.
Yang paling mengesankan dari Acara Nyiar
Lumar kali ini, banyaknya anak muda yang hadir. Mereka tak hanya
berasal dari kawasan Ciamis. Tapi, juga dari luar kota. “Ini
menegaskan, generasi muda Sunda atau yang lebih dikenal dengan sebutan
Nonoman Sunda masih peduli terhadap budayanya sendiri. Tidak semuanya
kebarat-baratan,” kata Hendarman Praja, sesepuh Paseban Jagat Palaka.
“Dan semenjak adanya jejaring sosial seperti facebook, anak-anak muda
dari luar kota pun bisa dengan cepat mengetahui informasi adanya acara
ini,” tambah lelaki yang biasa disapa Daday Andalas itu.
Sayangnya, di tengah antusiasme anak
muda Sunda terhadap seni-budayanya sedang mengembang, sebuah kabar tak
sedap menyeruak pelan: Minimnya sumbangan pemerintah terhadap pagelaran
Nyiar Lumar kali ini. “Untuk pagelaran Nyiar Lumar 2012, panitia hanya
mengantongi setengah dana dari biasanya,” tutur Kang Dbig Herly, salah
satu panitia.
Lagi-lagi persoalan dana menjadi kendala
klasik di negeri yang berlimpah kekayaan alam ini. Mudah-mudahan, ke
depan, pemerintah daerah maupun pusat bisa lebih peduli terhadap
persoalan seni dan budaya. Bukankah budaya adalah jati diri bangsa?